Surga yang Digadaikan: Raja Ampat dan Kapitalisme Ekstraktif yang Membisu

“Kita mewarisi keindahan, tapi ingin mewariskannya dalam bentuk lubang.”

Begitulah saya meringkas logika pembangunan yang hendak mengorbankan Raja Ampat demi tambang nikel. Di mata investor, Pulau Gag atau Kawe bukan rumah bagi manusia, karang dan ikan. Mereka hanyalah titik-titik logam di peta. Namun bagi kami yang masih memandang dunia sebagai jejaring kehidupan, ini bukan sekadar isu lingkungan ini adalah pertempuran cara berpikir: antara logika ekstraktif dan cara hidup yang berakar pada kesadaran ekologis.

Raja Ampat: Bukan Sekadar Lanskap, Tapi Kesadaran

‎Raja Ampat adalah lebih dari gugusan pulau tropis yang memesona. Ia adalah ruang spiritual, ruang ekologis dan ruang kebudayaan. Dalam perspektif ekofenomenologi sebagaimana dikembangkan Maurice Merleau-Ponty alam bukanlah benda mati di luar diri, melainkan tubuh kedua yang membentuk pengalaman dan keberadaan kita. Namun dalam logika tambang, semua itu diperlakukan sebagai objek:

yang bisa dibor, dibisniskan dan dilupakan.

‎Ketika tambang datang, itu bukan hanya persoalan kerusakan lingkungan. Itu adalah amputasi ontologis memisahkan manusia dari dunia yang melahirkannya.

Logam, Label dan Luka

‎Dalam dokumen resmi Kementerian ESDM, setidaknya ada 5 perusahaan yang sudah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat. Luasnya mencakup lebih dari 20 ribu hektare, sebagian besar berada di zona sensitif ekologi laut dan hutan lindung. Mereka datang membawa jargon “hilirisasi” dan “ekonomi hijau”. Tapi mari jujur: mengebom laut demi membuat baterai mobil listrik tetaplah kekerasan ekologis meskipun dikemas dalam bahasa transisi energi. Inilah wajah kapitalisme hari ini:

Licin, berubah warna tapi tidak berubah watak.

‎Ia tetap menciptakan kerusakan demi keuntungan, kini dengan stiker “ramah lingkungan”. Filsuf Herbert Marcuse menyebut ini sebagai teknologi represif: alat yang tampak netral, namun memperluas dominasi terhadap manusia dan alam. Di Raja Ampat, teknologi ini menjelma menjadi ekskavator dan kapal tongkang yang atas nama “kemajuan”, menciptakan keterasingan dan luka ekologis yang nyaris tak bisa dipulihkan.

Suara yang Disingkirkan

‎Warga Pulau Gag pernah menyurati Presiden; menolak kehadiran tambang. Tapi suara mereka sepi di telinga kekuasaan. Seorang tetua adat, Bapak Yonatan Kambuaya, berkata:

‎‎“Kami tidak menolak perubahan. Kami menolak dihancurkan.”

‎Mereka tahu bahwa begitu hutan ditebang dan laut dikeruk, tidak ada kata “reklamasi” yang bisa mengembalikan roh tanah itu.

Aktivisme: Keberanian Memuliakan yang Rapuh

‎Sebagai aktivis, saya tidak menolak kemajuan. Tapi saya menolak kemajuan yang datang dengan sirene mesin tambang, menggusur masa depan demi laba jangka pendek.‎ Ketika warga adat, nelayan dan anak muda Papua berdiri menjaga tanah dan lautnya, mereka sedang menjalankan etika tanggung jawab, sebagaimana dikatakan Hans Jonas:

“Bertindaklah agar akibat dari tindakanmu dapat menopang kelangsungan kehidupan di Bumi.”

‎Mereka bukan anti-pembangunan. Mereka hanya sedang membela makna “hidup” itu sendiri.

Jalan Lain Itu Ada

‎Mengapa negara selalu melihat pulau-pulau kecil sebagai peta tambang, bukan sebagai ruang hidup? Mengapa keindahan alam hanya dihargai bila bisa dikonversi ke grafik ekonomi?

‎Padahal, Raja Ampat bisa menjadi pusat pendidikan ekologi, riset biologi laut dan pariwisata beretika yang menghidupi masyarakat lokal tanpa merusak rumah mereka.‎ Tapi itu hanya mungkin kalau kita berani keluar dari logika penghisapan dan menegaskan:

Tidak semua tanah harus jadi pasar. Tidak semua nikel harus ditambang.

‎Bagi saya, Raja Ampat bukan komoditas. Ia adalah tubuh.‎ Lautnya adalah paru-paru. Karangnya adalah denyut nadi. Maka saat tambang datang, itu bukan pembangunan itu adalah amputasi.

Jika Negara Diam, Kita Bersuaralah

‎Jika negara tetap menutup mata, maka kita harus membuka mulut. Jika perusahaan datang dengan bulldozer, kita datang dengan kesadaran. Dan jika mereka bilang “ini demi masa depan”, maka kita harus bertanya:

Masa depan siapa? Dan siapa yang dikorbankan?

 

Penulis : Yoseph Irfan Lakapu, Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *