Oleh : Irfan Lakapu, Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang.
Plato pernah berkata, “Negara yang baik adalah negara yang menjamin pendidikan dan kesehatan bagi rakyatnya.” Namun, di Yahukimo, mereka yang berjuang untuk pendidikan dan kesehatan justru menjadi sasaran kekerasan. Guru dan tenaga kesehatan (nakes), simbol peradaban yang membawa ilmu dan harapan, kini menjadi korban serangan brutal.
Kekerasan ini bukan hanya mencerminkan kegagalan negara dalam memberikan keamanan, tetapi juga menunjukkan kebrutalan kelompok bersenjata yang mengabaikan nilai kemanusiaan. Bagaimana mungkin perjuangan atas nama kebebasan malah menargetkan mereka yang membawa cahaya bagi masyarakat? Jika OPM dan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) mengklaim membela rakyat Papua, mengapa justru rakyat kecil yang mereka hancurkan?
Paradoks OPM: Perjuangan atau Mesin Teror?
Sejak lama, OPM dan berbagai faksi KKB mengklaim berjuang untuk kebebasan Papua. Namun, serangan terhadap guru dan nakes membuktikan bahwa tindakan mereka semakin jauh dari semangat perjuangan yang bermartabat. Filsuf Friedrich Nietzsche dalam On the Genealogy of Morals menegaskan bahwa kekerasan yang membabi buta bukanlah bentuk kekuatan, melainkan kelemahan moral.
Jika OPM benar-benar berjuang untuk rakyat, seharusnya mereka melindungi pendidik dan tenaga kesehatan, bukan membunuh mereka. Dengan menyerang guru, mereka membiarkan anak-anak Papua tetap dalam kebodohan. Dengan membunuh nakes, mereka membuat rakyat mereka sendiri menderita tanpa akses kesehatan. Apa bedanya ini dengan penjajahan yang mereka lawan sedangkan mereka yang menjadi penjajah?
OPM harus bertanya pada diri sendiri: apakah mereka masih memperjuangkan keadilan, atau sudah berubah menjadi mesin teror yang menebar ketakutan tanpa tujuan jelas?
Negara yang Lemah: Antara Ketidakhadiran dan Represi Berlebihan
Namun, kita tidak bisa hanya menyalahkan OPM. Kekerasan di Yahukimo juga merupakan akibat dari kegagalan negara dalam melindungi dan menyejahterakan rakyat Papua. Thomas Hobbes dalam Leviathan menggambarkan bahwa tanpa negara yang kuat, masyarakat akan jatuh dalam kekacauan dan ketakutan—bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua).
Negara seharusnya hadir untuk melindungi warga, terutama mereka yang bertugas di daerah rawan konflik. Namun, justru karena ketidakhadiran negara dalam memberikan perlindungan dan kesejahteraan, kelompok-kelompok bersenjata bisa berkembang. Mengapa guru dan nakes dikirim ke daerah berbahaya tanpa perlindungan yang cukup? Mengapa pembangunan di Papua masih timpang, dengan eksploitasi sumber daya alam yang melimpah tetapi masyarakatnya tetap miskin?
Negara sering kali merespons kekerasan dengan pendekatan militeristik yang justru memperburuk situasi. Karl Marx dalam Das Capital mengingatkan bahwa ketidakadilan struktural menciptakan perlawanan. Semakin negara mengandalkan kekerasan tanpa menyelesaikan akar masalah, semakin besar perlawanan yang akan muncul.
Perjuangan yang Bermartabat, Negara yang Bertanggung Jawab
Jika OPM benar-benar berjuang untuk rakyat Papua, mereka harus menghentikan kekerasan terhadap warga sipil. Tidak ada alasan untuk menyerang mereka yang datang untuk membantu. Jika ingin dihormati sebagai pejuang kemerdekaan, mereka harus menunjukkan kebijaksanaan, bukan kebrutalan. Seorang pejuang sejati tidak membunuh rakyatnya sendiri.
Di sisi lain, negara tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan militer. Seperti yang dikatakan Plato dalam The Republic, “Keadilan bukan hanya tentang menghukum yang bersalah, tetapi juga tentang menciptakan sistem yang mencegah kejahatan sejak awal.”
Apa yang harus dilakukan negara?
1. Perlindungan bagi Guru dan Nakes. Negara harus memberikan jaminan keamanan bagi tenaga pendidik dan kesehatan. Jika tidak bisa menjamin keselamatan mereka, jangan mengirim mereka ke daerah konflik tanpa perlindungan.
2. Pendekatan Kesejahteraan, bukan sekedar Militer. Papua tidak butuh lebih banyak senjata, tetapi lebih banyak sekolah, rumah sakit dan ekonomi yang merata.
3. Dialog yang Jujur dengan Papua. Pemerintah harus membuka ruang dialog yang lebih luas, bukan hanya dengan elit politik, tetapi juga dengan masyarakat asli Papua.
4. Menindak Tegas KKB tanpa Menyudutkan Rakyat Sipil. Negara harus membedakan antara kelompok bersenjata dan rakyat biasa. Jangan sampai pendekatan militer justru semakin menyakiti masyarakat sipil.
Papua Butuh Perdamaian, Bukan Pertumpahan Darah
Serangan terhadap guru dan nakes di Yahukimo adalah tragedi yang mencerminkan dua kegagalan besar: OPM yang kehilangan arah perjuangan dan negara yang gagal melindungi warganya. Jika kedua pihak terus bertahan dengan cara-cara kekerasan, maka rakyat Papua akan terus menderita.
Plato mengajarkan bahwa negara yang baik adalah negara yang memprioritaskan pendidikan dan kesehatan. Hobbes mengingatkan bahwa tanpa keamanan, masyarakat akan hidup dalam ketakutan. Nietzsche menegaskan bahwa kekerasan yang membabi buta adalah tanda kehancuran moral.
Maka, baik OPM maupun negara harus mengubah cara mereka melihat Papua. Perjuangan tidak bisa dibangun di atas darah rakyat sendiri, dan keamanan tidak bisa ditegakkan hanya dengan senjata. Papua tidak butuh lebih banyak peluru—Papua butuh lebih banyak keadilan.
“Semoga kedamaian di Tanah Papua segera terwujud agar tidak ada lagi korban baik dari masyarakat sipil, TNI/Polri maupun OPM”.