Oleh: Irfan Lakapu, Mahasiswa Filsafat Unwira Kupang
Dalam peristiwa yang terjadi di Nabire, seorang anak SMP mengalami kekerasan fisik dan verbal dari seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) hanya karena berani menyuarakan tuntutan akan pendidikan gratis. Anak tersebut, bersama rekan-rekannya, menggelar demonstrasi bukan untuk menuntut makan siang gratis, melainkan hak fundamental mereka sebagai generasi penerus bangsa: pendidikan yang layak dan bebas biaya. Lebih menyedihkan lagi, mereka dihina sebagai anak kecil yang tidak berhak bersuara dalam perkara keadilan. Apakah ini pertanda bahwa suara yang menuntut keadilan harus selalu berasal dari orang dewasa? Apakah ini cerminan dari masyarakat yang mengabaikan hak anak untuk berpikir, berbicara, dan bertindak?
Filsafat Kebebasan dan Keadilan
John Locke, filsuf empirisme yang dikenal dengan teori hak asasi manusia, menekankan bahwa setiap individu, tanpa melihat usia atau latar belakangnya, memiliki hak-hak dasar yang melekat sejak lahir. Hak untuk bersuara dan menuntut keadilan bukanlah hak eksklusif orang dewasa, melainkan hak universal yang tidak mengenal batas usia. Tindakan represif terhadap anak yang sedang menyampaikan aspirasi menunjukkan betapa masyarakat masih terperangkap dalam pola pikir feodalistik, di mana suara anak dianggap tidak relevan atau tidak layak diperhitungkan.
Jean-Jacques Rousseau, dalam pemikirannya tentang pendidikan dan kebebasan, berpendapat bahwa anak bukan sekadar individu pasif yang menunggu diajari, melainkan entitas yang memiliki pemikiran kritis dan kemampuan untuk memahami ketidakadilan. Ketika seorang anak berani melakukan demonstrasi untuk menuntut haknya, itu adalah bukti bahwa sistem yang ada gagal memenuhi janjinya. Pendidikan gratis seharusnya menjadi hal yang diperjuangkan bersama, bukan sesuatu yang diremehkan hanya karena tuntutan itu datang dari anak-anak.
Ketidakadilan Struktural dan Represi terhadap Kaum Lemah
Michel Foucault dalam kajiannya mengenai kekuasaan mengungkapkan bahwa kekuasaan sering kali bekerja dengan cara mendisiplinkan tubuh dan pikiran, menciptakan hierarki yang membungkam mereka yang dianggap tidak memiliki otoritas. Dalam kasus ini, anak-anak dianggap tidak memiliki otoritas karena mereka bukan bagian dari elite penguasa atau birokrat yang memiliki akses ke pengambilan keputusan. Akibatnya, ketika mereka berusaha mendobrak tembok ketidakadilan, mereka dihadapkan pada represi yang bertujuan untuk mempertahankan status quo.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Nabire. Banyak kasus di mana suara kaum muda diremehkan, seakan-akan mereka tidak memiliki kapasitas intelektual untuk memahami apa yang baik dan buruk bagi masa depan mereka. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa banyak perubahan besar dalam dunia ini dimulai dari pergerakan anak muda, dari Revolusi Prancis hingga Gerakan Hak Sipil di Amerika Serikat.
Pendidikan Sebagai Hak, Bukan Privilege
Dalam filsafat politik, konsep keadilan distributif yang dikemukakan oleh John Rawls mengajarkan bahwa kebijakan yang adil adalah kebijakan yang menguntungkan mereka yang paling lemah dalam masyarakat. Pendidikan gratis bukan sekadar isu ekonomi atau kebijakan, tetapi merupakan bentuk investasi dalam masa depan bangsa. Menuntut pendidikan yang lebih baik bukanlah tindakan yang pantas dihina, melainkan tindakan yang mencerminkan kesadaran tinggi akan pentingnya hak dan masa depan yang lebih baik.
ASN yang menendang dan menghina anak tersebut menunjukkan betapa minimnya empati dalam sistem birokrasi kita. Mereka yang seharusnya menjadi pelayan publik justru bertindak seperti penguasa yang merasa terganggu dengan kritik. Padahal, jika negara benar-benar mengutamakan pendidikan, mereka harusnya menyambut tuntutan tersebut dengan dialog, bukan kekerasan.
Anak Bukan Objek, Mereka Subjek Perubahan
Kasus ini mengingatkan kita bahwa anak-anak bukan sekadar objek kebijakan, melainkan subjek yang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam membentuk masyarakat yang lebih adil. Dalam tradisi filsafat humanisme, seperti yang dikembangkan oleh Paulo Freire, pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan dari yang lebih tua ke yang lebih muda, tetapi sebuah proses dialogis yang memungkinkan semua individu—termasuk anak-anak—untuk menjadi agen perubahan.
Mereka yang mengatakan bahwa anak tidak perlu berdemo atau bersuara, pada dasarnya sedang menyangkal sejarah dan hakikat demokrasi itu sendiri. Jika kita ingin membangun bangsa yang lebih baik, kita harus mulai mendengarkan suara-suara kecil yang berteriak di jalanan, bukan membungkamnya dengan kekerasan dan penghinaan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Socrates, “Keberanian terbesar adalah berbicara ketika semua orang memilih diam.” Dan hari ini, keberanian itu datang dari seorang anak di Nabire. Apakah kita akan mendengarkan, atau tetap memilih untuk menutup telinga?